4 Langkah Menaklukkan Hawa Nafsu: Okeforum

Nusantaramengaji.com – Sejak pertama kali manusia dicipta berupa sosok Adam, Allah sudah menempatkan dua potensi dalam diri manusia, yaitu; potensi menjadi baik dan potensi menjadi buruk. Potensi kebaikan diwadahi dalam bentuk Ruh sedangkan potensi keburukan terwadahi dalam rupa Nafsu.

Wadah Ruh menjadi tempat dari bisikan-bisikan malaikat atau sifat-sifat terpuji sedangkan wadah Nafsu menjadi sarana bisikan-bisikan setan atau sifat-sifat tercela. Hakekat Nafsu, menurut kaum ‘Arifin, adalah buruk dan menjadi sumber dari keinginan-keinginan tercela serta membuai manusia terjerumus dalam lautan kesenangan penuh dosa.

Ruh dan Nafsu adalah dua entitas halus dan lembut yang ada dalam hati manusia. Keduanya saling mempengaruhi dan megalahkan sehingga hati (qalbu) sebagai wadah keduanya menjadi terbolak-balik tergantung sifat mana dari kedua entitas itu yang dominan yang selanjutnya muncul dalam bentuk prilakunya. Kitab suci Al-Qur’an selalu menggambarkan Nafsu dalam bentuk dan tujuan tercela kecuali Nafsu yang sudah ditaklukkan dan dirahmati Allah (An-Nafsul Muthmainnah). Ada tiga bentuk Nafsu yang digambarkan Allah dalam Al-Qur’an,yaitu;

Pertama, Nafsu Ammarah, yaitu Nafsu yang selalu mengarah pada sifat-sifat dan sikap-sikap tercela kecuali yang mendapat rahmat dari Tuhannya (QS. Yusuf; 53). Nafsu model ini cirinya selalu menentang segala sesuatu yang tidak sesuai keinginannya dan mengajak pada perbuatan maksiat.

Kedua, Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang masih suka terombang-ambing dalam ketidakpastian, terkadang baik dan terkadang pula buruk. Ketika berbuat maksiat ia segera menyesalinya akan tetap lemah jiwanya (QS. Qiyamah; 75).

Ketiga, Nafsu Muthmainnah, yaitu; nafsu yang sudah ditaklukkan sehingga tidak lagi liar dan meradang. Tidak merasa takut ataupun sedih. Nafsu model ini selalu tenang, taat dan berada dalam jalur kebenaran yang sudah digariskan Tuhan (QS. Al Fajr; 89).

Kaum “Arifin memisalkan Nafsu ini dengan beragam bentuk. Syaikh Al-Bushiri dalam bait-bait Qashidah Burdahnya menggambarkan Nafsu ini seperti anak kecil yang senang menyusu, jika kita membiarkannya maka ia akan tetap terus menyusu tapi jika kita menyapihnya maka ia akan berhenti menyusu. Syaikh As-Sanusi mengumpamakan Nafsu itu seperti musuh yang selalu mengintai, jika kita tidak waspada dan lengah maka ia akan menyergap dan menguasai diri kita. Pemisalan ini menunjukkan bahwa Hawa Nafsu itu merupakan musuh atau sesuatu yang berbahaya bagi kesucian batin kita sebagai hamba dan sebagai khalifah di bumi.

Oleh sebab itu, jihad melawan Hawa Nafsu bukanlah perkara yang mudah karena ini berarti kita berjuang sepanjang hidup. Seperti dalam satu riwayat dari Jabir r.a. berkata; sebuah pasukan mendatangi Nabi SAW, lalu Nabi bersabda; kalian adalah sekelompok pasukan terbaik yang pulang dari jihad kecil menuju jihad akbar. Pasukan itu bertanya; apakah jihad akbar itu wahai Nabi. Nabi menjawab; yaitu; jihad sorang hamba melawan hawa-nafsunya. (H.R Al-Baihaqi).

Menurut Syaikh Abdul Wahab As-Sya’rani, dengan mengutip Ibnu Arabi dalam Futuhat Makkiyahnya, menggambarkan bahwa begitu sulitnya melawan Hawa Nafsu sehingga Allah pun perlu menenggelamkan Nafsu ini ke dalam lautan kelaparan selama seribu tahun lamanya setelah sebelumnya Nafsu enggan mengakui Allah sebagai Tuhannya. Lalu bagaimana cara melawan dan menundukkan hawa nafsu supaya ia takluk dan taat kepada Allah. Kaum Arifin telah menetapka empat rukun cara menundukkan hawa nafsu supaya menjadi tenang dan taat, yaitu;

Pertama, Lapar/Puasa. Dalam pengertian sufi, Nafsu itu merupkan sumber keinginan/hawa serta selalu menuntut kesenangan dan kepuasan. Nafsu tidak menyukai hal-hal yang berat dan tidak meyenangkan termasuk dalam hal ini adalah rasa lapar. Dengan rasa lapar diharapkan nafsu menjadi berat memikulnya dan akhirnya tunduk menyerah karena rasa kenyang hanya akan memanjakan nafsu dan membuatnya selalu puas tapi malas sekali untuk beribadah. Ketika Allah menciptakan dunia maka Dia menjadikan dalam rasa lapar itu ilmu dan hikmah dan menjadikan dalam kenyang bodoh dan maksiat.

Dari itu, dapat dipahami kenapa baginda Nabi sering lapar dan puasa bahkan perutnya pernah diganjal dengan batu karena seringnya beliau tidak menjumpai makanan dan berpuasa. Syaikh Sulaiman Addarani menyatakan bahwa kunci dunia itu adalah rasa kenyang sedangkan kunci akherat adalah rasa lapar.

Kedua, Solat Malam (Tahajjud). Solat malam merupakam amalan atau kebiasaan orang-orang soleh sejak dahulu karena banyak sekali keutamaan solat malam ini bagi para pelakunya seperti wajahnya terlihat bercahaya, dimudahkan melewati jembatan Shirath, dan masuk surga tanpa hisab. Dalam riwayat An-Nasai dan Al-Baihaqi disebutkan; ” Ketika seluruh manusia dikumpulkan di padang masyhar, lalu ada seruan panggilan; di manakah orang-orang yang menjauhkan pinggangnya dari pembaringan kemudian berdirilah beberapa orang dan ternyata hanya sedikit maka masuklah mereka ke surga tanpa hisab lalu yang lainnya diperintah untuk dihisab”.

Ketiga, Uzlah. Pengertian Uzlah biasanya adalah menyingkir dari keramaian untuk fokus ibadah hanya kepada Allah. Namun menurut para sufi yang dimaksud Uzlah adalah meyingkirkan hati dari pengaruh keramaian/daya tarik duniawi untuk tujuan ibadah karena Allah semata (infirodul qalbi billahi). Jadi uzlah di sini adalah Uzlah hati, bukan fisiknya, dari pengrauh-pengaruh dunia dan hanya menfokuskan diri kepada Allah SWT.

Namun demikian, Uzlah hati tidaklah mudah dilakukan tanpa menyertai fisiknya sehingga kebanyakan syaikh atau guru-guru sufi banyak menganjurkan untuk mengasingkan diri dari keramaian baik fisik maupun batinnya yang dikenal dengan istilah khalwat. Khalwat ini dilakukan bertujuan menghindari bisikan-bisikan dan pengaruh-pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh dunia ramai (tarbiyatun nafs).

Dalam riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Said Al-Khudri menyatakan; bahwasanya ada seseorang bertanya kepada baginda Nabi SAW; wahai rasul siapakah manusia yang utama itu? Nabi menjawab; orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya di jalan Allah, orang itu bertnya lagi; lalu siapa lagi ya rasul. Nabi menjawab; yaitu orang-orang yang mengasingkan diri dari keramaian untuk menyembah Tuhannya. Dengan hadis ini Nabi mengajarkan kita untuk berjihad dengan jiwa dan raga untuk menyelamatkan agama dan juga berjihad dari keinginan-keinginan serta pengaruh buruk manusia.

Keempat, Diam. Diam yang dimaksud adalah tidak berbicara jika tidak betul-betul penting dan berguna. Sesungguhnya warisan penting dari kaum sufi adalah sikap diam terhadap pembicaraan yang tidak berguna karena mereka tahu bahwa banyak bicara itu bagian dari penyakit/hawa nafsu seperti memperlihatkan ucapan-ucapan yang bersifat pujian, menentukan orang baik dan buruk dari gaya bicaranya dan suka menggunjing keburukan orang lain. Tidaklah para sufi itu mewariskan hikmah selain diam dan tafakkur, dan hati-hati dalam berbicara melebihi hati-hati dalam hal makanan dan pakaian. Syaikh Abu ‘Iyasy berkata; banyak bicara itu dapat menyerap kebaikan sebagaimana bumi menyerap air.

Akhir kalam, cukuplah kiranya Friman Allah yang menyatakan; “ dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami, maka sungguh akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Ankabut: 69). Wallahu A’lam Bissowab. (Lutfi Syarqawi Zain)

Selengkapnya